SELAMAT DATANG

SELAMAT BERSELANCAR DI BLOG FORGEMA

Radio Suara-forGEMA

Klik Play Untuk Mendengar Radio Ende -->

Minggu, 23 Desember 2012

SINDROM KEMOSALAKIAN



Oleh: Marlin Bato,


Jakarta, 24 Desember 2012-
Akhir-akhir ini hampir sebagian wilayah Ende Lio Flores NTT kerap terjadi konflik komunal diantara petinggi-petinggi adat setempat. Konflik tersebut timbul oleh karena berbagai faktor, misalnya; Kasus tapal batas, Kasus pengklaiman kemosalakian, kasus hak kesulungan, hak alih waris dan sebagainya. Kasus yang paling menonjol akhir-akhir ini adalah kasus pengklaiman hak kemosalakian dan hak kesulungan. Potret-potret semacam ini terjadi persis seperti politik; "Devide Et Impera" yang dilancarkan Belanda era penjajahan. Rupanya politik "Devide et Impera" masih sangat relevan diterapkan di era globalisasi ini.

Sejarah masyarakat Ende Lio pada umumnya, pernah mengalami masa transisi paling fundamental dimana tahun 1900-an masuknya Hindia Belanda ke wilayah Ende Lio turut berperan secara tidak langsung mengubah tata dan sistem adat menjadi sistem pemerintahan monarki heredetis. Kendati demikian, ekses dari sistem pemerintahan monarki heredetis tentu mempunyai sisi positif yang menjadi polarisasi faktual menuju keutuhan sebuah kebudayaan. Akan tetapi, tanpa disadari, Belanda telah memainkan genderang hegemoninya melalui "Devide Et Impera" untuk mengumpulkan upeti, sehingga muncul pula konflik-konflik horisontal pada masa itu seperti halnya; terjadinya segregasi kekerabatan kultur Ende Lio melalui Perang Baranuri dan Perang Marilonga. Rupanya, setelah hengkangnya Belanda dari bumi Ende Lio pergumulan - pergumulan "Devide Et Impera" terus berlangsung hingga kini.

Ekses yang paling menonjol berkaitan dengan politik Devide Et Impera adalah munculnya kasus tapal batas dan kasus pengklaiman hak kemosalakian sebab beberapa individu (golongan) yang pernah dibesarkan oleh Belanda merasa diri paling berpengaruh sehingga mereka ingin tetap menetapkan pilar eksistensi bersifat egocentris diwilayahnya. Wajar saja, struktur fungsionaris kemosalakian yang sudah tertanam berabad-abad silam pun turut terkoyak oleh ulah mereka. Sebuah pepata Lio mengatakan; "Ana Nia Welu Longgo-Ana Longgo Welu Nia (Anak belakang ditaruh depan, sedangkan anak depan ditaruh belakang". Tak pelak, seseorang yang tadinya berada di posisi belakang merasa diri sebagai mosalaki, sementara anak yang tadinya mosalaki pun merasa di sisikan sehingga timbul pula kontradiksi diantara kedua kubu, seperti contoh kasus di kampung Ndu'a Ria beberapa waktu yang lalu.

Di sisi lain, munculnya sindrom kemosalakian bukan semata-mata disebabkan oleh karena kasus diatas, tapi karena ada kesempatan. Kesempatan dimana hilangnnya legitimasi seorang mosalaki yang dipetuankan oleh kerabatnya (klen) sendiri. Mereka lupa meletakkan jiwa kepemimpinan mereka yang sejatinya adalah sebagai pengayom dan pelindung. Munculnya figur-figur muda paternalisme (mosalaki) pengganti generasi terdahulu pun menjadi faktor utama lemahnya eksistensi mereka. Mereka kurang memahami sejarah tuturan lisan dan riwayat kemosalakian yang dimiliki, lantaran kemunculan mereka pun bersifat karbitan. Sehingga, keberadaan mereka sebagai pemimpin adat pun rancuh, bahkan kurang mendapat tempat dihati kerabatnya sendiri.

Sesunguhnya hakikat seorang mosalaki adalah; personifikasi serta manifestasi antara wujud tertinggi dengan alam/Du'a Lulu Wula - Ngga'e Wena Tana, sebab ia merupakan reinkarnasi roh para leluhur sebagai wujud nyata penyambung kemaslahatan hidup orang banyak. Oleh Karena itu, seorang mosalaki harus bisa menyatukan diri bersama kedua unsur tersebut seperti ungkapan; "Mosa Eo Ka Fara No'o Tana - Laki Eo Pesa Bela No'o Watu". Tugas dan tanggung jawab mosalaki adalah memberi penghidupan dan keselamatan bagi orang banyak melalui doa-doa perkawinan kosmic bumi dan langit yang dipanjatkan kepada wujud tertinggi agar memberikan kesuburan, hujan yang cukup. Hal inilah yang kurang dimengerti oleh kebanyakan mosalaki.

Kurangnya pemahaman mosalaki terhadap tradisi dan budaya juga merupakan nokta hitam penyebab kacaunya ritus-rius adat, dimana kebiasaan-kebiasaan masa lampau direduksi lalu lekang dibawah kaki sang waktu, sehingga alam seakan murkah dengan segala bentuk perbuatan manusia. Tidak heran, sindrom kemosalakian bermunculan dimana-mana oleh kekuatan materi, karena sang mosalaki sendiri pun tak sanggup menjamin penghidupan orang banyak. Satu-satunya jalan yang paling sempurna untuk mengatasi ini semua adalah menggalang kekuatan penyeimbang, meretas lintas batas dalam satu paguyuban untuk mengembalikan legitimasi serta bargaining position sang mosalaki itu sendiri.

Sabtu, 22 Desember 2012

SEWA KONTRAK KURSI ENDE 1 & DPRD UNTUK 5 TAHUN



Oleh: Marlin Bato
Penulis adalah pemerhati dusun terpencil



Jakarta, 23 Desember 2012,
Wajah Ende, kian suram oleh kedigdayaan segelintir orang yang ingin mempertahankan hegemoninya. Betapa tidak, Ende yang dahulu sangat bersahaja kini sirna oleh kaum-kaum hedonis, yang hanya ingin memperkaya diri. Akibatnya, wajah Ende kini hampir tanpa bentuk, tanpa arah dan tujuan yang jelas, sehingga belenggu kemiskinan kian erat mengekal. Pertarungan politik lokal yang kurang sehat dan harmonis menjadi pemicu utama terjadinya sebuah sindrom kemelaratan kaum jelata.

Ibarat sebuah pepata; "Gajah Bertarung, Pelanduk Mati Di Tengah". Kalimat itulah yang sangat cocok untuk menyebut kehidupan masyarakat dan panasnya iklim politik Ende saat ini. Meskipun pilkada Ende masih terbilang jauh, namun friksi dan kontradiksi diantara setiap kubu dibawah kendali gerbong parpol sudah sangat nampak. Bahkan saling menyudutkan satu sama lain, sembari membeberkan kelemahan dan kelebihan masing-masing pihak. Sungguh ironis, jika para stakeholder mempertontonkan perilaku politik yang kurang santun kepada kaum mudanya sendiri.

Berkaca dari potret saat ini, terjadinya stagnasi kemajuan Ende, mestinya harus dijadikan acuan untuk menyamakan persepsi, visi, misi dan program setiap kontestasi yang akan maju sebagai wakil rakyat sehingga kebutuhan-kebutuhan rakyat akan terjawab dengan baik. Semua pihak harus duduk bersama, rembuk bersama, bagaimana mendorong pemerintah untuk bekerja secara maksimal kendati harus mengakomodir kepentingan semua pihak terkait. Hal ini yang tidak dilakukan petinggi-petinggi Ende saat ini. Tongkat estafet dan tampuk kepemimpinan pun dilanjutkan dengan cara yang berbeda sehingga ada kecenderungan, proses pergantian pemimpin pun lenyap bersama visi, misi dan program yang telah dicanangkan selama lima (5) tahun.

Jika sistem politik dan pemerintahan yang tidak bersifat estafet "The Main Relay Idea - Master Plan", sudah tentu akan terjadi stagnasi kemajuan disegala aspek kehidupan masyarakat Ende. Sadar atau tidak "tongkat estafet" itu harus diberikan secara sistematis, sehingga alur pembangunan disegala sektor pun akan tersentuh dengan baik. Dalam kacamata penulis, wajah Ende saat ini, tak ubahnya seperti sebuah adagium Raja Luis dari Spanyol yaitu; "Negara Adalah Aku", yang jika disederhanakan lagi menjadi "Ende Adalah Aku". Bermula dari adagium inilah yang membuat Raja Luis menjadi pongah dan dibenci rakyatnya, karena ia merasa dirinya paling kuat dari kekuatan rakyatnya sendiri.

Melihat fenomena-fenomena tersebut diatas, penulis beranggapan bahwa ada baiknya "Kursi Ende 1 dan Kursi Dewan-Dewan terhormat disewakontrakan kepada pemikir-pemikir ulung yang berdomisili diluar Ende dengan ide-ide besar serta nalarisasi yang segar, agar pembangunan Kab. Ende murni untuk kemaslahatan rakyat tanpa embel-embel untuk memperkaya diri.

Karena itu, dalam kesempatan ini penulis mencoba mempropagandakan - Sewa Kontrak Kursi Ende 1 & DPRD Ende buat para pencari kursi empuk yang berdomisili di luar Ende dengan harga relatif murah dan terjangkau dalam jangkah 5 tahun. Setiap peserta dapat memperoleh banyak perbandingan sebelum menyewa kursi tersebut. Cara ini merupakan media info ini cukup efektif sebab terdapat banyak kejanggalan-kejanggalan dengan wajah Ende saat ini. Propaganda ini, menjadi kewajiban penulis untuk mengubah Ende secara perlahan, masif namun terencana. "Daya Hening Upaya Juang". Salam Embun!!!

Sabtu, 15 Desember 2012

KILAS BALIK NEGARA INDONESIA TIMUR


Gambar 1: Bendera NIT
Gambar 2: Presiden Soekowati bersama istri
Oleh: Marlin Bato

"Tepat 66 tahun yang lalu, telah terjadi muktamar luar biasa oleh raja-raja se-Indonesia Timur di Denpasar pada tanggal 07 - 24 Desember 1946 yang menghasilkan kesepakatan untuk membentuk NIT (Negara Indonesia Timur). Setelah menghasilkan kesepakatan, bendera "Negara Indonesia Timur" pun dikibarkan".

Negara Indonesia Timur merupakan negara bagian Republik Indonesia Serikat yang pada masa itu dibentuk atas dukungan Belanda dengan batas demografi meliputi wilayah Sulawesi, Sunda Kecil [Bali dan Nusa Tenggara] dan Kepulauan Maluku. Ibukota Negara Indonesia Timur adalah Singaraja. Negara Indonesia Timur dibentuk berdasarkan Konferensi Malino pada tanggal 16-22 Juli 1946 dan muktamar Denpasar dari tanggal 7-24 Desember 1946 yang bertujuan untuk membahas gagasan berdirinya negara bagian tersendiri di wilayah Indonesia bagian timur oleh Belanda.

Pada mulanya, sesuai Konferensi Denpasar 24 Desember 1946, negara yang baru dibentuk tersebut di beri nama "Negara Timur Besar", namun kemudian pada tanggal 27 Desember 1946 diganti dengan nama Negara Indonesia Timur. Muktamar tersebut juga telah menghasilkan sebuah kesepakatan bahwa Negara Indonesia Timur meliputi 13 daerah otonom setingkat Kabupaten (affdeeling) dengan 5 kota keresidenan setingkat provinsi seperti termaktub dalam Staatsblad 1938 nomor 68 jo Staatsblad nomor 264, kecuali Irian Barat, yang akan ditetapkan kemudian hari:

1.Daerah Sulawesi Selatan
2. Daerah Minahassa
3. Daerah Kepulauan Sangihe dan Talaud
4. Daerah Sulawesi Utara
5. Daerah Sulawesi Tengah
6. Daerah Bali
7. Daerah Lombok
8. Daerah Sumbawa
9. Daerah Flores
10. Daerah Sumba
11. Daerah Timor dan kepulauan
12. Daerah Maluku Selatan
13. Daerah Maluku Utara

1. Karesidenan Sulawesi Selatan
2. Karesidenan Sulawesi Utara
3. Karesidenan Bali
4. Karesidenan Lombok
5. Karesidenan Maluku

Pada waktu itu, atas hegemoni Belanda, Negara Indonesia Timur didirikan untuk menyaingi dan memaksa Republik Indonesia untuk menerima bentuk negara federasi; dengan tujuan mengecilkan wilayah Republik Indonesia sehingga hanya menjadi salah satu negara bagian dari Republik Indonesia Serikat. Namun akhirnya Negara Indonesia Timur bubar dan semua wilayahnya melebur ke dalam Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1950 setelah terjadi kesepakatan antar raja-raja dan lintas tokoh nusantara di Jogja.

Presiden
24 Des 1946 - 17 Agu 1950 - Tjokorda Gde Raka Soekawati,


Kabinet dan Perdana Menteri

- 13 Jan 1947 - 02 Jun 1947 - Nadjamoedin Daeng Malewa - Kabinet Pertama
- 02 Jun 1947 - 11 Okt 1947 - Nadjamoedin Daeng Malewa - Kabinet Kedua
- 11 Okt 1947 - 15 Des 1947 - Kabinet Warouw
- 15 Des 1947 - 12 Jan 1949 - Ide Anak Agung Gde Agung - Kabinet Pertama
- 12 Jan 1949 - 27 Des 1949 - Ide Anak Agung Gde Agung - Kabinet Kedua
- 27 Des 1949 - 14 Mar 1950 - Kabinet J.E. Tatengkeng
- 14 Mar 1950 - 10 Mei 1950 - Kabinet D. P. Diapari
- 10 Mei 1950 - 17 Agu 1950 - Kabinet J. Poetoehena

Peristiwa-peristiwa penting

- 27 Mei 1947 - Pengunduran diri ketua DPRS Tadjoeddin Noer
- 3 Des 1947 - DPRS mengirim misi persaudaraan ke Republik Indonesia di Yogyakarta
- 30 Des 1947 - Pihak oposisi mendirikan Gabungan Perjuangan Kemerdekaan Indonesia (GAPKI) di Makasar, dipimpin oleh A. Mononutu
- 22 Jan 1948 - RI mengakui NIT sebagai negara bagian dari RIS yang akan dibentuk
- 18 Feb 1948 - Misi persaudaraan dari GAPKI tiba di Yogyakarta
- Okt 1948 - RI mengirim misi persaudaraan ke NIT yang diketuai Mr.Sartono
- Des 1948 - Kabinet NIT memprotes keras Agresi Militer II ke wilayah RI
- 6 Feb 1949 - PM Ide Anak Agung Gde Agung selaku penghubung BFO menemui Wapres Bung Hatta yang ditawan Belanda di Bangka.

Sumber,
> Buku, Ringkikan sandelwood dan harumnya cendana
^ (Indonesia) Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia, Jurnal sejarah: pemikiran, rekonstruksi, persepsi, Yayasan Obor Indonesia, ISSN 1858-2117
^ Ensiklopedi Umum, Penerbit Kanisius, Edisi Kedua dengan EYD, 1977, hal.586, ISBN 978-979-413-522-8
^ Ensiklopedi Umum, Penerbit Kanisius, Edisi Kedua dengan EYD, 1977, hal.587, ISBN 978-979-413-522-8

Senin, 10 Desember 2012

"RIA RAGO PAHLAWAN DARI LEMBAH NDONA"

Sinopsis Film:

Foto ini adalah Foto asli Ria Rago yang di ambil oleh Pater. P. Beltjens, SVD tahun 1930, sumber museum Trophen Belanda

Oleh: Marlin Bato
Jakarta, 09 Desember 2012

Produksi "Soverdi" Ende tahun 1930


Judul asli film ini dari bahasa Belanda yaitu "Ria Rago De Heldin Dan Het Ndona-Dal". Ria Rago adalah sebuah film drama dokumenter yang di produksi tahun 1930 di Ndona Ende Flores NTT. Film ini disutradarai oleh P. Simon Buis, SVD bekerja sama dengan P. P Beltjens, SVD misionaris Belanda yang kala itu bertugas di lingkup pastoral Ndona Ende. Secara historis film ini mengisahkan romantisme dan kecintaan seorang pria tua yang kaya raya kepada seorang gadis desa nan rupawan. Meski digarap oleh P. Simon Buis dan P. P Beltjens SVD, film ini tetap melibatkan aktris dan aktor dari masyarakat lokal Ende Lio serta pemeran pendukung dari susteran Ndona.

Nama-nama tokoh dalam film ini terdiri atas:

1. Ria Rago - Pemeran utama wanita pemberani yang menjadi korban perjodohan
2. Rago Da`Oe - Ayah kandung Ria sang penganut feodalisme yang serakah
3. Enga Padi - Ibunda Ria yang terjerumus dalam pemikiran sempit suaminya
4. Dapo Doki - Lelaki yang menggebuh-gebuh ingin mempersunting Ria
5. Haji Dasa - Sang negosiator (juru bicara/comblang)
6. Martinus Koenoe - Katekis/misionaris
7. LE Dr. J.M Kanoo - Dokter

Film ini diangkat dari kisah nyata, sebagaimana yang terjadi di sekitar masyarakat lokal dalam kurun waktu tahun 1923. Alkisah film ini bermula dari kedatangan Haji Dasa sang negosiator (juru bicara) kepada Rago Da`Oe untuk menyampaikan pesan dari dari Dapo Doki yang ingin meminang Ria sebagai istri sebagaimana kebiasaan-kebiasaan menurut tradisi masyarakat lokal. Singkat cerita, setelah mendapat restu dari Rago Da'Oe, Dapo Doki pun langsung menyerahkan puluhan ekor hewan sebagai mahar/belis untuk kedua orang tua Ria. Petaka pun mulai menghampiri Ria, sang gadis nan cantik jelita dari lembah Ndona.

Klimaks dari kisah ini, Rago Da'Oe ayahanda Ria pun mengatur pernikahan puterinya dengan Dapo Doki, seorang Muslim. Namun dengan tegas ia menolak pinangan Dapo juragan kaya dari kampung tetangga. Sejak saat itu, penyiksaan terhadap dirinya datang silih berganti, baik dari kedua orang tuanya maupun dari orang-orang suruhan Dapo. Pemukulan demi pemukulan pun datang bertubi-tubi, hingga akhirnya ia melarikan diri mencari suaka ke susteran misi yang menawarkan tempat aman baginya. Akan tetapi ayah dan kroni-kroninya berhasil menemukannya. Bagaimanapun, ia harus dibawa kembali ke desa karena ayahnya terlanjur menerima mahar yang cukup besar dari Dapo.

Setelah berbulan-bulan mengalami penyiksaan, Ria tetap tidak menyerah. Lagi-lagi ia dapat meloloskan diri dari penyiksaan tragis dan kembali ke bangsal susteran misi. Namun, ketika ia baru menjejakkan kakinya di teras bangsal, tiba-tiba saja dia ambruk. Tubuhnya rapuh lagi sekarat, wajahnya yang dulu putih cantik, ceria dengan rambut yang panjang terurai dalam sekejap suram dan redup, tak tampak aura kebeningan melintas dimatanya, ia tak sanggup lagi menahan beban penyiksaan. Nyawanya tak dapat tertolong. Kontan saja para suster mengutus orang untuk menjemput kedua orang tua beserta sanak saudaranya untuk menyaksikan betapa sadisnya perbuatan mereka terhadap puterinya. Namun meski di ambang kematian, pahlawan dari lembah Ndona ini meminta para suster dan kedua orang tuanya untuk melakukan upacara terakhir yaitu "menerima sakramen minyak suci". Seketika ayah Ria memutuskan untuk membatalkan pernikahan dan mengembalikan mahar kepada Dapo, namun semua sudah terlambat, penyesalan pun tak berarti lagi. Di akhir kisah, meski di ranjang kematiannya Ria pun mengampuni kedua orang tuanya.

Kisah ini, mengingatkan kita pada legenda Siti Nurbaya dan Datuk Maringgi dari pulau Sumatera. Secara substantif, ada kemiripan dari kisah ini meski ada perbedaan locus serta nama dan ketokohan. Karena itu, perjuangan Ria Rago, Siti Nurbaya dapat pula disandingkan dengan Cut Nyak Dien dari Aceh, RA. Kartini dari Jawa, Martha Christina Tiahahu dari Ambon dan lain sebagainya tentu saja ini suatu perjuangan yang sangat berarti bagi persamaan jender serta persamaan hak dengan kaum pria yang cenderung mendominasi di seluruh lini kehidupan. Sehingga lewat kisah-kisah seperti inilah tiap-tiap insan dapat memahami makna "Emansipasi Wanita".

Terimakasih, semoga bermanfaat. Salam Embun!!

Jumat, 07 Desember 2012

Resensi Buku; "TIMOR-TIMUR THE UNTOLD STORY"

Oleh: Marlin Bato
Jakarta, 06/12/2012


Seorang intelektual muda Tim-tim, Florenscio Mario Vieira mengemukakan; Barometer pelanggaran HAM di Timtim semestinya diletakkan pada situasi masa lalu ketika Indonesia-dengan dukungan luar negeri (baca: Amerika) - masuk ke Timitim. Seandainya Menlu AS Henry Kissinger tidak mampir ke Jakarta dan bertemu presiden Soeharto, mungkin saja Indonesia tidak secepat itu menerjunkan pasukan gabungan ke Dili. Ini yang ingin saya tekankan berulang-ulang pada berbagai pihak, terutama pihak asing yang getol menuding Indonesia melakukan pelanggaran HAM di Timtim. Kurang fair menggunakan barometer pascaperang dingin (dan setelah referendum) untuk menyudutkan Indonesia, sementara pihak-pihak yang mendukung Indonesia masuk Timtim terkesan "cuci tangan".

Buku "Timor-Timur The Untold Story", buah karya Kiki Syahnarki mantan panglima Kodam IX/Udayana ini mengisahkan banyak peristiwa-peristiwa geopolitik yang mempengaruhi kebijakan pemerintah Indonesia masa lalu terhadap Timor-timur. Fakta kebenaran di pihak Indonesia terutama TNI sangat jarang dipublikasi oleh media. Dalam kondisi dunia yang pada tahun 1975 masih diliputi perang dingin, terbentuknya satu negara di Timor menimbulkan kekhawatiran Amerika yang amat berkepentingan bahwa terpelihara kebebasan bergerak untuk kekuatan militernya, terutama bagi angkatan lautnya yang perlu bebas bergerak bolak-balik samudra pasifik - samudra hindia. Satu negara di Timor - Timur (sekarang Timor Leste) tidak mustahil meminta bantuan kepada Uni Soviet atau Republik Rakyat Cina untuk dapat melakukan pembangunan dan memperkuat dirinya dan hampir pasti hal itu disambut baik oleh Uni Soviet yang saat itu masih kuat posisinya. Hal ini, menjadi acuan sehingga Amerika berperan sangat strategis dan meminta bantuan Indonesia untuk menguasai Timor-Timur.

Timor-Timur The Untold Story, menguraikan secara detail kisah heroik bermula dari Revolusi Bunga di Portugal 25 April tahun 1974, yang digerakkan oleh perwira muda revolusioner-progresif yang melawan diktator Admiral Americo Thomas, Presiden Portugal kala itu. Dampak revolusi tersebut bergema di seantero Portugal dan menebarkan riak-riak hebat di berbagai koloninya termasuk Timor Portugis (Timtim). Singkat cerita pecalah konflik fisik antara UDT (Asociacao Democratica Timorense) dengan Fretilin (Frente Revolucionaria de Timor Leste Independente) ketika UDT mengadakan Movimento Revolucionario Anti-Comunista di bawah pimpinan Joao Viegas Carrascalao Komandan Operational MRAC.

Secara umum, buku setebal 436 ini mengupas tuntas berbagai fenomena dan peristiwa berdarah melalui jejak perjuangan Kiki Syahnarki selama di Timtim diantaranya;
- Penangkapan penyelundup cendana, Hal. 33
- Peristiwa Motaain 14 September 1975, Hal. 46
- Tawanan Portugis, Hal. 54
- Yonif 743 merebut Tilomar, Hal. 59
- Roman di perbatasan, Hal. 63
- Operasi Kikis, Hal. 73
- Pengepungan gunung Mamalau, Hal. 86
- Pertempuran pertama di Nunira Complex, Hal. 124
- Pengepungan gunung Builo, Hal. 136
- Lafaek dan peristiwa Dilor, Hal. 145
- Pertempuran terakhir sebelum "Pull Out", Hal. 150
- Peristiwa penodaan "Hostia" di Remexio, Hal. 174
- Peristiwa Gariana dan Dewan Kehormatan Perwira, Hal. 189
- Selisih paham dengan Prabowo Subianto, Hal. 192
- Perintah mendadak (mengenai jajak pendapat tahun 1999), Hal. 211
- Kecurangan Unamet, Hal. 222
- Masuknya pasukan multinasional (Interfect), Hal. 230
- Konvoi terakhir Batalyon 745, Hal. 249
- Tewasnya wartawan Sander Roberts Thoenes, Hal. 252
- Menghadapi kelompok prokemerdekaan, Hal. 258
- Kunjungan Megawati dan penyerahan senjata yang ricuh, Hal. 283
- Tertembaknya prajurit Manning di Selandia Baru, Hal. 290
- Terbunuhnya tiga personel UNHCR, Hal. 295
- Konflik dengan Dubes AS Robert Gerbalt, Hal. 313
- Banjir di Belu selatan, Hal. 320
- Tuduhan pelanggaran HAM yang membabi buta, Hal. 357
- Cap "Master Of Terrors" yang tendensius, Hal. 359
- Pertemuan terakhir Hal. 398

Lepasnya Timor-Timur menyisahkan banyak sejarah perjuangan dengan tetes darah, air mata dan nyawa yang dikorbankan oleh putera-puteri terbaik Indonesia. Tidak kurang dari 3000 prajurit tewas di medan tempur dalam operasi seroja. Namun, meski darah sudah ditumpahkan, semuanya hanya tinggal kenangan dalam bayang-bayang semu. Sejarah yang sudah tertulis, tetaplah sejarah yang patut dikenang sepanjang masa.

Dari rangkaian cerita dalam buku ini, dapat disimpulkan bahwa keutuhan kedaulatan teritorial suatu negara yang merdeka adalah sangat tergantung dari perang informasi, peranan media asing maupun media lokal, situasi global, kekuatan intelijen serta peta kekuatan geopolitk yang sewaktu-waktu ibarat bom yang dapat merusak seluruh tatanan kedaulatan jika eksistensi hegemoni asing kian berurat akar pada seluruh persendihan hidup. Karena itu, lobi-lobi politik luar negeri berada pada posisi sangat strategis dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah. Lebih dari semua itu, kunci yang paling sentral untuk mempertahankan krusial kedaulatan suatu negara adalah mengakrabi "gress root" dan meraih simpati kaum jelata kiri.

Salam Embun!