SELAMAT DATANG

SELAMAT BERSELANCAR DI BLOG FORGEMA

Radio Suara-forGEMA

Klik Play Untuk Mendengar Radio Ende -->

Jumat, 25 Oktober 2013

JEJAK PEMIKIRAN BUNG KARNO DI TANAH MALAYA



 Sumber: Berdikari

Tanggal 4 September lalu, seorang sastrawan Malaysia ditangkap oleh polisi Malaysia. Namanya Datuk A Samad Said. Penyebabnya, pada tanggal 30 Agustus lalu, sastrawan sepuh ini terlibat pengibaran bendera “Sang Saka Malaya”.

Sang Saka Malaya adalah bendera Merah-Putih dengan 12 bintang kuning di bagian sudut kiri atas. Pada tahun 1940-an, bendera ini dipersiapkan sebagai bendera nasional dari negara Malaya yang bakal dimerdekakan. Negara merdeka yang mau dimerdekakan itu dinamai “Indonesia Raya”.

Pada awalnya, saya sendiri bingung dengan hal di atas. Namun, setelah mengorek-ngorek sedikit sejarah perjuangan rakyat Malaya, saya menemukan sebuah titik terang: perjuangan anti-kolonial di Malaya sangat dipengaruhi oleh perjuangan rakyat Indonesia.

Dua spektrum utama pergerakan rakyat Malaya, yakni gerakan komunis dan nasionalis, sangat dipengaruhi oleh pejuang-pejuang kemerdekaan dari Indonesia. Pemberontakan PKI pada tahun 1926/1927, yang berkobar di Jawa dan Sumatera, juga berpengaruh bagi tumbuhnya sentimen anti-kolonial di Malaya. Cheah Boon Kheang (1983) menyebut penyebaran komunisme di Malaya tidak terlepas dari pengaruh tiga komunis dari Indonesia, yakni Tan Malaka, Alimin, dan Musso. Sementara kebangkitan gerakan nasionalis progressif di Malaya tidak terlepas dari andil tokoh terkemuka gerakan nasionalis Indonesia, yakni Soekarno.
Nah, kita akan lebih spesifik membahas pengaruh Soekarno dalam perjuangan kemerdekaan Malaya. Di sini, ada dua organisasi–setidaknya tokoh-tokoh utamanya–yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Soekarno, yakni Kesatuan Melayu Muda (1938) dan Partai Kebangsaan Melayu Malaya (1945).

Kebangkitan Nasionalisme Malaya
Gerakan nasionalis di Malaya, seperti juga di Indonesia, tidak terlepas dari andil kaum terdidik. Namun, kalangan terdidik ini terbelah dua, yakni kaum tua dan kaum muda. Faktor pembelahnya sebetulnya adalah gagasan dan pemikiran. Kaum tua mewakili pandangan konservatif dan sangat kolot. Sebagian besar pengikutnya adalah kaum feodal dan bangsawan. Aspirasi nasionalismenya pun sangat sempit dan pro-Inggris. Sementara kaum muda mewakili pemikiran progressif dan revolusioner. Mereka sebagian besar dari kalangan menengah dan bawah. Mereka ini kemudian mengembangkan nasionalisme progressif dan anti-kolonial

Di Malaya, seperti juga Indonesia, pusat penyebaran ide-ide nasionalisme adalah sekolah tinggi atau Universitas. Di sana ada namanya  Sultan Idris Training College (SITC). Banyak pengajar di sekolah ini adalah nasionalis. Literatur-literatur pergerakan Indonesia banyak disebar di sekolah ini. Koran-koran dari Indonesia, seperti Seruan Rakyat, Pedoman Masyarakat, Pandji Islam, Bintang Islam dan Bintang Hindia, juga terbesar di sekolah ini.

Nah, ketika Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun 1927, pengaruhnya sampai ke Malaysia. Organ propaganda PNI, Fikiran Ra’jat, juga merasuki alam pemikiran kaum terdidik Malaysia. Banyak pemikiran Soekarno dituangkan dalam Fikiran Ra’jat ini. Banyak mahasiswa SITC terpengaruh gagasan Bung Karno. Salah satunya bernama Ibrahim Yaacob. Dia adalah seorang keturunan perantau dari Bugis, Sulawesi Selatan, yang merantau ke Malaya sejak tahun 1920-an. Kelak, Ibrahim Yaacob inilah yang memainkan peranan penting dalam gerakan anti-kolonial di Malaya. 

Melalui koran Fikiran Ra’jat, Ibrahim mulai menyerap pemikiran Bung Karno dan ide nasionalismenya. Bahkan, berdasarkan pengakuan Ibrahim (1957) sendiri, ia bersama empat kawannya–Hassan Manan, A. Karim Rashid, Yaakub Amin, dan Mohammad Isa bin Mahmud–menjadi anggota PNI secara rahasia. Ibrahim Yaacob menjadi anggota PNI antara tahun 1929-1931. Penangkapan Soekarno berpengaruh bagi Ibrahim dan kawan-kawan. Akhirnya, mereka pun bergerak di bawah tanah. Pada tahun 1932, Ibrahim sempat ikut Partai Republik Indonesia (PARI), yang didirikan oleh Subakat, Jamaludin Tamim dan Tan Malaka.

Pengaruh Nasionalisme Kiri
Bagi saya, yang menarik untuk diketahui adalah seberapa jauh pemikiran Soekarno mempengaruhi gagasan kaum nasionalis Malaya. Di sini, saya mencoba melihat sosok Ibrahim Yaacob. Kenapa dia? Karena dia termasuk pionir gerakan nasionalis Malaya.
                       Ahmad Boestamam dan Ibrahim Yaacob. Keduanya adalah aktivis KMM dan PKMM.

Saya kira, kontribusi terpenting dari pemikiran Soekarno terhadap Ibrahim adalah lahirnya sebuah nasionalisme yang progressif, anti-kolonial, dan anti-feodal. Untuk diketahui, Ibrahim sendiri sangat menentang nasionalisme yang disuarakan oleh kaum feodal Malayu saat itu karena sangat reaksioner, sempit, dan pro-penjajah. Slogan dari nasionalis feodal itu adalah: Malaya untuk Melayu (Malaya for Malays). Padahal, pada kenyatannya, Malaya dihuni oleh banyak sekali etnis dan ras, yakni Melayu (48%), China (40%), India (10%), dan lain-lain (2%). Sebaliknya, kaum nasionalis progressif–dalam hal ini Ibrahim Yaacob dkk–menghendaki “hak hidup bagi seluruh Rakjat jang tertindas supaja mendapat Kemerdekaan” (Ibrahim Yaacob, 1957)

Pada tahun 1937, Ibrahim Yaacob dkk mendirikan organisasi bernama Kesatuan Melayu Muda (KMM). Berdirinya KMM menandai momen penting sejarah politik Malaya, karena ini pertama kalinya kaum melayu yang anti-feodal, anti-Inggris, dan pro-Indonesia mengorganisir diri dalam sebuah organisasi politik (Byungkuk Soh, 2005). Yang menarik, seperti dikatakan Yaacob sendiri, KMM mengambil inspirasi dari organisasi kepemudaan di Indonesia, yakni Jong Java dan Jong Sumatera. Selain itu, KMM menyatakan dirinya sebagai organisasi nasionalis yang menentang penjajahan Inggris. Dalam strategi perjuangannya, KMM mengadopsi strategi PNI, yakni non-koperasi terhadap pihak penjajah. Kemudian tujuan politiknya adalah memperjuangkan Malaya merdeka di atas kesadaran nasional yang luas dengan tujuan: mempersatukan Malaya kepada satu ikatan Indonesia-Raya, agar seluruh suku bangsa orang Melayu (Malay-races) mendjadi satu bangsa jang besar di Asia Tenggara (Ibrahim Yaacob, 1957). Penggunaan kata “muda” bukanlah mengacu pada usia, melainkan pada pemikiran. Di sini, “muda” merupakan antitesa dari ‘cara berfikir lama”. Di sini Ibrahim menekankan bahwa pemikiran nasionalis muda menolak pemikiran nasionalis feodal yang sempit/chauvinis.

Cita-cita ‘Indonesia Raya’
Dalam sebuah tulisannya di Majlis, salah satu organ KMM, yang muncul di tahun 1939, Ibrahim menyerukan agar semua orang Melayu meninggalkan cara berfikir etnis (puak-puak) dan mulai berfikir sebagai kesatuan Melayu secara keseluruhan. Bagi Ibrahim, ras Melayu sebetulnya sangat besar, yakni melebihi 65 juta orang (meliputi Malaya dan kepulauan Indonesia), tetapi lemah dalam perasaan nasional dan pengalaman bersamanya karena dipecah-belah oleh fikiran sempit kaum feodal dan kolonialisme Inggris. Karena itu, sembari mencontek semangat Sumpah Pemuda tahun 1928 di Indonesia, Ibrahim menyerukan perlunya “kesadaran/perasaan baru” di antara Melayu di Malaya jajahan Inggris dan di bekas Hindia-Belanda untuk bergabung dalam sebuah gerakan nasionalis yang lebih besar, yakni Melayu Raya atau Indonesia Raya.

Dalam mengkampanyekan idenya, Ibrahim mengambil inspirasi dari Soekarno dan PNI. Ia juga berusaha menjelma sebagai orator dan pemimpin politik. Ia mengambil banyak gaya berpidato Bung Karno. Namun demikian, Ibrahim gagal diterima sebagai pemimpin secara luas oleh gerakan anti-kolonial di Malaya. Sebab, selain KMM, ada juga gerakan anti-kolonial lain, yakni PKM (Partai Komunis Malaya). Karena sikap anti-Inggrisnya, pada tahun 1941, hampir semua pimpinan KMM diangkap Inggris. Mereka kemudian diangkut ke Singapura, termasuk Ibrahim Yaacob, Ishak Hj. Moham­mad, Mohd. Isa Mahmud, A. Karim Rasjid, Hassan Manan, Idris Hakim, Ahmad.Boestamam, dan lain-lain. Namun, begitu Jepang datang, mereka dibebaskan. 

Namun, pada tahun 1942, KMM pun dilarang Jepang. Karena itu, KMM kemudian menerapkan dua strategi: ilegal dan legal. Secara ilegal, mereka terlibat dalam gerakan anti-fasis dengan bekerjasama PKM dalam Malayan Peoples Anti-Japanese Army (MPAJA). Sementara beberapa pimpinan legalnya bekerja sama dengan Jepang. Di pertengahan 1945, Jepang mulai menjanjikan kemerdekaan terhadap Indonesia. Hal itu didengar pula oleh Ibrahim Yaacob dkk. Untuk menyongsong kemerdekaan bersama Indonesia, Ibrahim membentuk organisasi Kesatuan Rakjat Indonesia Semenandjung (KRIS). Pada tanggal 8 Agustus 1945, KRIS mengibarkan bendera Merah-Putih.

Pada hari yang sama, delegasi Indonesia, yakni Soekarno, Hatta, dan Radjiman, berangkat ke Saigon, Vietnam, untuk bertemu Marsekal Terauchi (pimpinan tertinggi Jepang di Asia Tenggara). Pada saat pulangnya, 13 Agustus 1945, Bung Karno dan rombongan mampir di Taiping, Perak. Di sana ia bertemua Ibrahim Yaacob dkk. Di situ, Ibrahim Yaacob menyampaikan bahwa kemerdekaan Malaya tercakup dalam Kemerdekaan Indonesia. Konon, mendengar keinginan Ibrahim Yaacob itu, Bung Karno berkata, “Mari kita ciptakan satu tanah air bagi seluruh tumpah darah Indonesia.” Ibrahim kemudian menjawab, “Kami orang Melayu akan setia menciptakan ibu negeri dengan menyatukan Malaya dengan Indonesia yang merdeka. Kami orang- orang Melayu bertekad untuk menjadi orang Indonesia.” Proklamasi kemerdekaan itu direncanakan akhir Agustus 1945.
              Pertemuan Bung Karno, Bung Hatta, Radjiman dengan Ibrahim Yaacob di Taiping, Perak, tahun 1945.

Sayang, cita-cita itu kandas. Jepang tiba-tiba menyerah tanggal 14 Agustus 1945. Di Indonesia, karena desakan pemuda revolusioner, Proklamasi Kemerdekaan dilangsungkan lebih cepat: 17 Agustus 1945. Namun demikian, KRIS menyelenggarakan kongres pada tanggal 16-17 Agustus 1945. Keputusannya: tetap memperjuangkan kemerdekaan penuh Malaya di dalam kerangka “Indonesia Raya”. Ibrahim Yaacob sendiri berangkat ke Jakarta.

Pada 17 Oktober 1945, bekas aktivis KMM dan KRIS mendirikan partai politik baru, yakni Partai Kebangsaan Melayu Malaya (PKMM). Partai ini melanjutkan cita-cita politik KMM. PKMM dipimpin oleh Dr. Burhanuddin selaku Presiden, Ishak Haji Muhammad sebagai Wakil, dan Ahmad Boestamam sebagai Sekretaris Jenderal.

PKMM ini sangat dipengaruhi oleh Soekarno. Di dalam film “10 Tahun Sebelum Merdeka” karya Fahmi Reza diperlihatkan bagaimana aktivis PKMM sangat terpengaruh ide-ide Soekarno. Kata-kata Bung Karno yang terkenal “Beri aku 10 pemuda, maka akan kuguncang dunia” sangat membakar semangat pemuda-pemudi Malaya. Istilah “Marhaen” juga sangat populer di Indonesia.

Untuk meluaskan pengaruhnya di kalangan massa, PKMM membangun organisasi massa: Angkatan Pemuda Insaf (API), Angkatan Wanita Sedar (AWAS), GERAM, dan Barisan Tani Se-Malaya (BATAS). PKMM dan ormas-ormasnya itu kemudian melebur dalam Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA). Sementara organisasi progressif yang lain membentuk membentuk aliansi bernama AMCJA (All Malayan Council for Joint Action). Pada tahun 1947, PUTERA dan AMCJA ini menyatu untuk menolak rencana Federasi dari Inggris.

Untuk melawan konsep Federasi Malaya-nya Inggris, PUTERA-AMCJA membuat konsep sendiri melalui “Perlembagaan Rakyat/Konstitusi Rakyat”. Dalam rancangan PUTERA diusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, bendera Merah-Putih sebagai bendera kebangsaan Malaya, dan negaranya berbentuk kerakyatan. PUTERA juga mengadopsi dasar kebangsaan PKMM yang mirip sekali dengan Pancasila, yakni: 1) Ketuhanan YME, 2) Kebangsaan, 3) Kedaulatan Rakyat, 4) Persaudaraan Sejagat, dan 5) Keadilan masyararakat.

Sayang, cita-cita ini kandas. Kendati para pekerja dan rakyat Malaysia menggelar pemogokan umum menolak Inggris pada 20 Oktober 1947, tetapi Inggris dan UMNO tetap bergeming. Pada Februari 1948, Inggris mengesahkan Federasi Malaya. Tak lama kemudian, semua organisasi rakyat yang menentang kolonial, termasuk PKMM, API, AWAS, dll, dilarang. Ahmad Boestaman ditangkap. Para aktivis PKMM bekerjasama dengan PKM kemudian melakukan perjuangan bersenjata bertahun-tahun di hutan. Gagasan “Indonesia Raya” dan bendera “Sang Saka Merah-Putih” menjadi barang haram.

Pasca 1950-an
Setelah keluar dari penjara pada tahun 1955, Ahmad Boestaman mendirikan Partai Rakyat Malaya (PRM). Partai baru ini benar-benar mengadopsi ajaran Soekarno. Azasnya disebut marhaenisme. Partai ini juga mengambil ajaran Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi dari ajaran Soekarno. Belakangan, PRM ini melebur dengan Partai Buruh Malaya, yang juga didirikan oleh eks-PKMM, yakni Ishak Haji Muhamamd, menjadi Front Sosialis Rakyat Malaya. Peleburan itu berlangsung tahun 1958. Partai front ini sempat ikut pemilu tahun 1959. Partai ini sempat meraih 8 kursi di parlemen nasional dan menjadi partai terbesar ketiga di parlemen.

Namun, bersamaan dengan konfrontasi antara Indonesia-Malaysia, partai ini mendapat represi. Banyak pimpinnanya, termasuk Ahmad Boestamam, ditangkap. Sejak itu, partai ini mengalami kemunduran. Pada tahun 1965, seorang tokoh muda bernama  Kassim Ahmad mengambil alih kepemimpinan partai. Ia kemudian mengganti ideologi partai dengan sosialisme. Namanya pun diubah menjadi Partai Sosialis Rakyat Malaysia (PSRM). Tetapi Ahmad Boestamam tidak lagi di partai ini. Ia kemudian bersama Ishak membentuk Partai Marhaen Malaysia. Ia mencoba kembali menghidupkan Front Sosialis pada pemilu 1974, tetapi gagal. Ishak kemudian bergabung dengan PAS tahun 1985. 

Ketika PSRM kembali menggunakan PRM, tetapi sudah membuang sosialisme dari nama dan konstitusi partai. Itu terjadi tahun 1989. Salah seorang pentolan PRM, Dr Mohd Nasir Hasim, meninggalkan partai. Belakangan, ia bersama aktivis muda membentuk Partai Sosialis Malaysia (PSM). PSM mengambil ideologi sosialisme. Belakangan, PRM yang dipimpin oleh Syed Husin merger dengan Partai Keadilan Nasional. Hasil mergernya dinamakan Partai Keadilan Rakyat (PKR). Kendati sejumlah anggota partai Keadilan menolak merger ini karena menganggap PRM berhaluan sosialis dan anti-agama.