Sumber: Berdikari
Tanggal 4 September lalu, seorang sastrawan Malaysia
ditangkap oleh polisi Malaysia. Namanya Datuk A Samad Said. Penyebabnya,
pada tanggal 30 Agustus lalu, sastrawan sepuh ini terlibat pengibaran
bendera “Sang Saka Malaya”.
Sang Saka Malaya adalah bendera Merah-Putih dengan 12 bintang kuning
di bagian sudut kiri atas. Pada tahun 1940-an, bendera ini dipersiapkan
sebagai bendera nasional dari negara Malaya yang bakal dimerdekakan.
Negara merdeka yang mau dimerdekakan itu dinamai “Indonesia Raya”.
Pada awalnya, saya sendiri bingung dengan hal di atas. Namun, setelah
mengorek-ngorek sedikit sejarah perjuangan rakyat Malaya, saya
menemukan sebuah titik terang: perjuangan anti-kolonial di Malaya sangat
dipengaruhi oleh perjuangan rakyat Indonesia.
Dua spektrum utama pergerakan rakyat Malaya, yakni gerakan komunis
dan nasionalis, sangat dipengaruhi oleh pejuang-pejuang kemerdekaan dari
Indonesia. Pemberontakan PKI pada tahun 1926/1927, yang berkobar di
Jawa dan Sumatera, juga berpengaruh bagi tumbuhnya sentimen
anti-kolonial di Malaya. Cheah Boon Kheang (1983) menyebut penyebaran
komunisme di Malaya tidak terlepas dari pengaruh tiga komunis dari
Indonesia, yakni Tan Malaka, Alimin, dan Musso. Sementara kebangkitan
gerakan nasionalis progressif di Malaya tidak terlepas dari andil tokoh
terkemuka gerakan nasionalis Indonesia, yakni Soekarno.
Nah, kita akan lebih spesifik membahas pengaruh Soekarno dalam
perjuangan kemerdekaan Malaya. Di sini, ada dua organisasi–setidaknya
tokoh-tokoh utamanya–yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Soekarno,
yakni Kesatuan Melayu Muda (1938) dan Partai Kebangsaan Melayu Malaya
(1945).
Kebangkitan Nasionalisme Malaya
Gerakan nasionalis di Malaya, seperti juga di Indonesia, tidak
terlepas dari andil kaum terdidik. Namun, kalangan terdidik ini terbelah
dua, yakni kaum tua dan kaum muda. Faktor pembelahnya sebetulnya adalah gagasan dan pemikiran. Kaum tua
mewakili pandangan konservatif dan sangat kolot. Sebagian besar
pengikutnya adalah kaum feodal dan bangsawan. Aspirasi nasionalismenya
pun sangat sempit dan pro-Inggris. Sementara kaum muda mewakili
pemikiran progressif dan revolusioner. Mereka sebagian besar dari
kalangan menengah dan bawah. Mereka ini kemudian mengembangkan
nasionalisme progressif dan anti-kolonial
Di Malaya, seperti juga Indonesia, pusat penyebaran ide-ide
nasionalisme adalah sekolah tinggi atau Universitas. Di sana ada namanya
Sultan Idris Training College (SITC). Banyak pengajar di sekolah ini
adalah nasionalis. Literatur-literatur pergerakan Indonesia banyak
disebar di sekolah ini. Koran-koran dari Indonesia, seperti Seruan Rakyat, Pedoman Masyarakat, Pandji Islam, Bintang Islam dan Bintang Hindia, juga terbesar di sekolah ini.
Nah, ketika Soekarno mendirikan Partai Nasional Indonesia (PNI) tahun
1927, pengaruhnya sampai ke Malaysia. Organ propaganda PNI, Fikiran Ra’jat, juga merasuki alam pemikiran kaum terdidik Malaysia. Banyak pemikiran Soekarno dituangkan dalam Fikiran Ra’jat ini. Banyak mahasiswa SITC terpengaruh gagasan Bung Karno. Salah satunya
bernama Ibrahim Yaacob. Dia adalah seorang keturunan perantau dari
Bugis, Sulawesi Selatan, yang merantau ke Malaya sejak tahun 1920-an.
Kelak, Ibrahim Yaacob inilah yang memainkan peranan penting dalam
gerakan anti-kolonial di Malaya.
Melalui koran Fikiran Ra’jat, Ibrahim mulai menyerap pemikiran
Bung Karno dan ide nasionalismenya. Bahkan, berdasarkan pengakuan
Ibrahim (1957) sendiri, ia bersama empat kawannya–Hassan Manan, A. Karim
Rashid, Yaakub Amin, dan Mohammad Isa bin Mahmud–menjadi anggota PNI
secara rahasia. Ibrahim Yaacob menjadi anggota PNI antara tahun
1929-1931. Penangkapan Soekarno berpengaruh bagi Ibrahim dan kawan-kawan.
Akhirnya, mereka pun bergerak di bawah tanah. Pada tahun 1932, Ibrahim
sempat ikut Partai Republik Indonesia (PARI), yang didirikan oleh
Subakat, Jamaludin Tamim dan Tan Malaka.
Pengaruh Nasionalisme Kiri
Bagi saya, yang menarik untuk diketahui adalah seberapa jauh
pemikiran Soekarno mempengaruhi gagasan kaum nasionalis Malaya. Di sini,
saya mencoba melihat sosok Ibrahim Yaacob. Kenapa dia? Karena dia
termasuk pionir gerakan nasionalis Malaya.
Ahmad Boestamam dan Ibrahim Yaacob. Keduanya adalah aktivis KMM dan PKMM.
Saya kira, kontribusi terpenting dari pemikiran Soekarno terhadap
Ibrahim adalah lahirnya sebuah nasionalisme yang progressif,
anti-kolonial, dan anti-feodal. Untuk diketahui, Ibrahim sendiri sangat
menentang nasionalisme yang disuarakan oleh kaum feodal Malayu saat itu
karena sangat reaksioner, sempit, dan pro-penjajah. Slogan dari nasionalis feodal itu adalah: Malaya untuk Melayu (Malaya for Malays).
Padahal, pada kenyatannya, Malaya dihuni oleh banyak sekali etnis dan
ras, yakni Melayu (48%), China (40%), India (10%), dan lain-lain (2%).
Sebaliknya, kaum nasionalis progressif–dalam hal ini Ibrahim Yaacob
dkk–menghendaki “hak hidup bagi seluruh Rakjat jang tertindas supaja mendapat Kemerdekaan” (Ibrahim Yaacob, 1957)
Pada tahun 1937, Ibrahim Yaacob dkk mendirikan organisasi bernama
Kesatuan Melayu Muda (KMM). Berdirinya KMM menandai momen penting
sejarah politik Malaya, karena ini pertama kalinya kaum melayu yang
anti-feodal, anti-Inggris, dan pro-Indonesia mengorganisir diri dalam
sebuah organisasi politik (Byungkuk Soh, 2005). Yang menarik, seperti dikatakan Yaacob sendiri, KMM mengambil
inspirasi dari organisasi kepemudaan di Indonesia, yakni Jong Java dan
Jong Sumatera. Selain itu, KMM menyatakan dirinya sebagai organisasi
nasionalis yang menentang penjajahan Inggris. Dalam strategi
perjuangannya, KMM mengadopsi strategi PNI, yakni non-koperasi terhadap
pihak penjajah. Kemudian tujuan politiknya adalah memperjuangkan Malaya
merdeka di atas kesadaran nasional yang luas dengan tujuan: mempersatukan
Malaya kepada satu ikatan Indonesia-Raya, agar seluruh suku bangsa
orang Melayu (Malay-races) mendjadi satu bangsa jang besar di Asia
Tenggara (Ibrahim Yaacob, 1957). Penggunaan kata “muda” bukanlah mengacu pada usia, melainkan pada
pemikiran. Di sini, “muda” merupakan antitesa dari ‘cara berfikir lama”.
Di sini Ibrahim menekankan bahwa pemikiran nasionalis muda menolak
pemikiran nasionalis feodal yang sempit/chauvinis.
Cita-cita ‘Indonesia Raya’
Dalam sebuah tulisannya di Majlis, salah satu organ KMM, yang
muncul di tahun 1939, Ibrahim menyerukan agar semua orang Melayu
meninggalkan cara berfikir etnis (puak-puak) dan mulai berfikir sebagai
kesatuan Melayu secara keseluruhan. Bagi Ibrahim, ras Melayu sebetulnya sangat besar, yakni melebihi 65
juta orang (meliputi Malaya dan kepulauan Indonesia), tetapi lemah dalam
perasaan nasional dan pengalaman bersamanya karena dipecah-belah oleh
fikiran sempit kaum feodal dan kolonialisme Inggris. Karena itu, sembari mencontek semangat Sumpah Pemuda tahun 1928 di
Indonesia, Ibrahim menyerukan perlunya “kesadaran/perasaan baru” di
antara Melayu di Malaya jajahan Inggris dan di bekas Hindia-Belanda
untuk bergabung dalam sebuah gerakan nasionalis yang lebih besar, yakni Melayu Raya atau Indonesia Raya.
Dalam mengkampanyekan idenya, Ibrahim mengambil inspirasi dari
Soekarno dan PNI. Ia juga berusaha menjelma sebagai orator dan pemimpin
politik. Ia mengambil banyak gaya berpidato Bung Karno. Namun demikian,
Ibrahim gagal diterima sebagai pemimpin secara luas oleh gerakan
anti-kolonial di Malaya. Sebab, selain KMM, ada juga gerakan
anti-kolonial lain, yakni PKM (Partai Komunis Malaya). Karena sikap anti-Inggrisnya, pada tahun 1941, hampir semua pimpinan
KMM diangkap Inggris. Mereka kemudian diangkut ke Singapura, termasuk
Ibrahim Yaacob, Ishak Hj. Mohammad, Mohd. Isa Mahmud, A. Karim Rasjid,
Hassan Manan, Idris Hakim, Ahmad.Boestamam, dan lain-lain. Namun, begitu Jepang datang, mereka dibebaskan.
Namun, pada tahun 1942, KMM pun dilarang Jepang. Karena itu, KMM
kemudian menerapkan dua strategi: ilegal dan legal. Secara ilegal,
mereka terlibat dalam gerakan anti-fasis dengan bekerjasama PKM dalam
Malayan Peoples Anti-Japanese Army (MPAJA). Sementara beberapa pimpinan
legalnya bekerja sama dengan Jepang. Di pertengahan 1945, Jepang mulai menjanjikan kemerdekaan terhadap
Indonesia. Hal itu didengar pula oleh Ibrahim Yaacob dkk. Untuk
menyongsong kemerdekaan bersama Indonesia, Ibrahim membentuk organisasi
Kesatuan Rakjat Indonesia Semenandjung (KRIS). Pada tanggal 8 Agustus
1945, KRIS mengibarkan bendera Merah-Putih.
Pada hari yang sama, delegasi Indonesia, yakni Soekarno, Hatta, dan
Radjiman, berangkat ke Saigon, Vietnam, untuk bertemu Marsekal Terauchi
(pimpinan tertinggi Jepang di Asia Tenggara). Pada saat pulangnya, 13
Agustus 1945, Bung Karno dan rombongan mampir di Taiping, Perak. Di sana
ia bertemua Ibrahim Yaacob dkk. Di situ, Ibrahim Yaacob menyampaikan
bahwa kemerdekaan Malaya tercakup dalam Kemerdekaan Indonesia. Konon,
mendengar keinginan Ibrahim Yaacob itu, Bung Karno berkata, “Mari kita ciptakan satu tanah air bagi seluruh tumpah darah Indonesia.” Ibrahim kemudian menjawab, “Kami
orang Melayu akan setia menciptakan ibu negeri dengan menyatukan Malaya
dengan Indonesia yang merdeka. Kami orang- orang Melayu bertekad untuk
menjadi orang Indonesia.” Proklamasi kemerdekaan itu direncanakan akhir Agustus 1945.
Pertemuan Bung Karno, Bung Hatta, Radjiman dengan Ibrahim Yaacob di Taiping, Perak, tahun 1945.
Sayang, cita-cita itu kandas. Jepang tiba-tiba menyerah tanggal 14
Agustus 1945. Di Indonesia, karena desakan pemuda revolusioner,
Proklamasi Kemerdekaan dilangsungkan lebih cepat: 17 Agustus 1945. Namun
demikian, KRIS menyelenggarakan kongres pada tanggal 16-17 Agustus
1945. Keputusannya: tetap memperjuangkan kemerdekaan penuh Malaya di
dalam kerangka “Indonesia Raya”. Ibrahim Yaacob sendiri berangkat ke
Jakarta.
Pada 17 Oktober 1945, bekas aktivis KMM dan KRIS mendirikan partai
politik baru, yakni Partai Kebangsaan Melayu Malaya (PKMM). Partai ini
melanjutkan cita-cita politik KMM. PKMM dipimpin oleh Dr. Burhanuddin
selaku Presiden, Ishak Haji Muhammad sebagai Wakil, dan Ahmad Boestamam
sebagai Sekretaris Jenderal.
PKMM ini sangat dipengaruhi oleh Soekarno. Di dalam film “10 Tahun
Sebelum Merdeka” karya Fahmi Reza diperlihatkan bagaimana aktivis PKMM
sangat terpengaruh ide-ide Soekarno. Kata-kata Bung Karno yang terkenal
“Beri aku 10 pemuda, maka akan kuguncang dunia” sangat membakar semangat
pemuda-pemudi Malaya. Istilah “Marhaen” juga sangat populer di
Indonesia.
Untuk meluaskan pengaruhnya di kalangan massa, PKMM membangun
organisasi massa: Angkatan Pemuda Insaf (API), Angkatan Wanita Sedar
(AWAS), GERAM, dan Barisan Tani Se-Malaya (BATAS). PKMM dan
ormas-ormasnya itu kemudian melebur dalam Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA).
Sementara organisasi progressif yang lain membentuk membentuk aliansi
bernama AMCJA (All Malayan Council for Joint Action). Pada tahun 1947,
PUTERA dan AMCJA ini menyatu untuk menolak rencana Federasi dari
Inggris.
Untuk melawan konsep Federasi Malaya-nya Inggris, PUTERA-AMCJA
membuat konsep sendiri melalui “Perlembagaan Rakyat/Konstitusi Rakyat”.
Dalam rancangan PUTERA diusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional,
bendera Merah-Putih sebagai bendera kebangsaan Malaya, dan negaranya
berbentuk kerakyatan. PUTERA juga mengadopsi dasar kebangsaan PKMM yang
mirip sekali dengan Pancasila, yakni: 1) Ketuhanan YME, 2) Kebangsaan,
3) Kedaulatan Rakyat, 4) Persaudaraan Sejagat, dan 5) Keadilan
masyararakat.
Sayang, cita-cita ini kandas. Kendati para pekerja dan rakyat
Malaysia menggelar pemogokan umum menolak Inggris pada 20 Oktober 1947,
tetapi Inggris dan UMNO tetap bergeming. Pada Februari 1948, Inggris
mengesahkan Federasi Malaya. Tak lama kemudian, semua organisasi rakyat
yang menentang kolonial, termasuk PKMM, API, AWAS, dll, dilarang. Ahmad
Boestaman ditangkap. Para aktivis PKMM bekerjasama dengan PKM kemudian melakukan
perjuangan bersenjata bertahun-tahun di hutan. Gagasan “Indonesia Raya”
dan bendera “Sang Saka Merah-Putih” menjadi barang haram.
Pasca 1950-an
Setelah keluar dari penjara pada tahun 1955, Ahmad Boestaman
mendirikan Partai Rakyat Malaya (PRM). Partai baru ini benar-benar
mengadopsi ajaran Soekarno. Azasnya disebut marhaenisme. Partai ini juga
mengambil ajaran Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi dari ajaran
Soekarno. Belakangan, PRM ini melebur dengan Partai Buruh Malaya, yang juga
didirikan oleh eks-PKMM, yakni Ishak Haji Muhamamd, menjadi Front
Sosialis Rakyat Malaya. Peleburan itu berlangsung tahun 1958. Partai
front ini sempat ikut pemilu tahun 1959. Partai ini sempat meraih 8
kursi di parlemen nasional dan menjadi partai terbesar ketiga di
parlemen.
Namun, bersamaan dengan konfrontasi antara Indonesia-Malaysia, partai
ini mendapat represi. Banyak pimpinnanya, termasuk Ahmad Boestamam,
ditangkap. Sejak itu, partai ini mengalami kemunduran. Pada tahun 1965, seorang tokoh muda bernama Kassim Ahmad mengambil
alih kepemimpinan partai. Ia kemudian mengganti ideologi partai dengan
sosialisme. Namanya pun diubah menjadi Partai Sosialis Rakyat Malaysia
(PSRM). Tetapi Ahmad Boestamam tidak lagi di partai ini. Ia kemudian bersama
Ishak membentuk Partai Marhaen Malaysia. Ia mencoba kembali menghidupkan
Front Sosialis pada pemilu 1974, tetapi gagal. Ishak kemudian bergabung
dengan PAS tahun 1985.
Ketika PSRM kembali menggunakan PRM, tetapi sudah membuang sosialisme
dari nama dan konstitusi partai. Itu terjadi tahun 1989. Salah seorang
pentolan PRM, Dr Mohd Nasir Hasim, meninggalkan partai. Belakangan, ia
bersama aktivis muda membentuk Partai Sosialis Malaysia (PSM). PSM
mengambil ideologi sosialisme. Belakangan, PRM yang dipimpin oleh Syed Husin merger dengan Partai
Keadilan Nasional. Hasil mergernya dinamakan Partai Keadilan Rakyat
(PKR). Kendati sejumlah anggota partai Keadilan menolak merger ini
karena menganggap PRM berhaluan sosialis dan anti-agama.