SELAMAT DATANG
Radio Suara-forGEMA
Suara forGEMA dan PRO 1 RRI ENDE
Kamis, 28 Maret 2013
ANOMALI STIGMA PREMANISME PASCA INSIDEN JOGJA
Refleksi Kritis
Oleh: Marlin Bato,
Beberapa hari ini warga NTT diguncang rasa duka mendalam pasca insiden penyerangan di lapas Cebongan Sleman Jogjakarta. Betapa tidak, buntut penyerangan itu menyebabkan empat mahasiswa asal NTT pun harus meregang nyawa di ujung laras dari 17 serdadu bayangan. Motif dan indikasi penyerangan tersebut hingga kini menyisakan misteri seolah sulit terpecahkan. Tak pelak, sejumlah aksi solidaritas dan kecamam pun datang bertubi-tubi dari berbagai elemen, publik figur, pengamat politik maupun anggota DPR RI.
Menohok peristiwa ini, muncul 2 pertanyaan yang berkecamuk dalam diri;
-Mengapa harus warga Indonesia Timur (NTT) yang jadi Korban brutalisme ke-17 serdadu??
-Sedemikian burukkah potret dan kiprah warga Indonesia Timur (NTT) di kancah Nusantara sehingga kerap distigmanegatfikan dengan isu premanisme??
Mari, kedua pertanyaan ini akan membawa kepada hakikat olah pikir agar pembaca diajak menerawang jauh kedepan sebelum mengambil sebuah spekulasi liar.
Pertama-tama, penulis mengawali dengan sebuah statement dari orang nomor satu Jogja, Sri Sultan HB X yang biasa disapa Ngarso Dalem; "Wahai warga pendatang, KALIAN ADALAH ANAK- ANAK KU JUGA, saya tidak menghendaki kalian menjadi orang Jawa, tetaplah menjadi orang NTT, orang MALUKU, orang BATAK, orang MADURA, ORANG PAPUA, orang BALI, orang DAYAK KALIMANTAN, orang MAKASAR, orang MANADO dan lainnya, TETAPI YANG BERPERILAKU BAIK. Kalian memiliki identitas sendiri yang dijamin Undang-undang, karena pendiri negeri ini mengakui adanya perbedaan yang adalah MODAL dan BUKAN SUMBER MASALAH. Jadikan Yogyakarta tempat yg indah damai tanpa kekerasan. YOGYAKARTA HADININGRAT MERUPAKAN KOTA BUDAYA YANG AMAN DAN NYAMAN".
Berpedoman dari statemen diatas, penulis mencoba mempersempit ruang lingkup, arah dan tujuan kepada masyarakat NTT sebab statemen ini muncul bersamaan dengan insiden 4 korban Jogja;
"Wahai warga pendatang, kalian anak-anak ku juga, saya tidak menghendaki kalian menjadi orang Jawa, tetaplah menjadi orang NTT yang berperilaku baik".
Kalimat ini dapat menjadi sebuah rujukan bahwa pernyataan Sri Sultan ini sangat bijak dan patut menjadi suri tauladan bagi semua warga NTT untuk berlaku baik. Beliau seorang pemimpin besar yang harus menjadi model bagi pemimpin republik ini untuk mengayomi 230 juta warga Indonesia. Tentu beliau paham betul bagaimana karakteristik, eksistensi dan sumbangsi masyarakat NTT, baik yang berdomisili di Jogja maupun di daerah lainnya.
Kemudian pada alinea berikut terdapat sebuah catatan penting yang tertulis; Pendiri negeri ini mengakui adanya perbedaan yang adalah MODAL dan BUKAN SUMBER MASALAH. Nah..... pada catatan ini, penulis menangkap sesuatu yang tersirat bahwa keberadaan dan perilaku warga NTT, baik di Jogja maupun di daerah lainnya perluh menjadi perhatian serius dari semua elemen, tokoh dan simpul-simpul masyarakat NTT dimanapun berada sehingga tidak menjadi sumber masalah. Ini merupakan sebuah pesan moral yang wajib menjadi amanat untuk meredam stigma kekerasan yang terpatri dalam karakter warga NTT, sehingga kelak kesan premanisme dapat berangsur lenyap.
Sebelum menjawab dua (2) pertanyaan diatas, penulis menguraikan sedikit latar belakang sejarah terkait eksistensi dan hegemoni para pendahulu asal NTT, yang merupakan tokoh perintis kemerdekaan Indonesia. Uraian ini sudah tentu akan berkorelasi dengan stigma maupun pernyataan Sultan tersebut diatas. Beberapa dekade yang lalu, terdapat beberapa deret nama yang turut berjuang dimedan perang melawan Kolonial Belanda yaitu; Mantan Gubernur NTT - Eltari, yang kini diabadikan sebagai nama bandara di Kupang. Laurens Say, kini nama beliau diabadikan sebagai nama pelabuhan Maumere (Sikka), L-Say, Paulus Wangge dan lain-lain. Tidak banyak yang mengetahui bahwa, nama-nama ini merupahkan tokoh pejuang yang mendukung pergerakan rakyat Jogja untuk bertempur melawan Belanda. Mereka merupakan laskar terdepan bertempur di medan perang. Mereka sangat bernyali, seperti generasi-generasi NTT yang sekarang. Sri Sultan tentu paham betul bagaimana jasah mereka terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada catatan sejarah yang berbeda, ketika Jepang menjajah Indonesia, Raja Lio (Pius Rasi Wangge) pun dikabarkan sempat mencari suaka politik (berlindung) di keraton Jogja karena beliau dikejar oleh Belanda dengan tuduhan berkolaborasi dengan penjajah Jepang.
Sejak jaman penjajahan Belanda, ratusan bahkan ribuan orang-orang dari Indonesia Timur dibawah ke Jawa untuk dilatih dan kemudian dijadikan serdadu-serdadu yang berada digaris depan bertempur melawan Belanda. Mereka dikenal sangat berani, didukung perawakan, kulit hitam, dan kebengisan serta tempramen yang keras, sehingga sejak saat itu pulalah stigma ini terus melekat hingga kini. Dari rentetan peristiwa -peristiwa sejarah tersebut diatas, penulis menangkap sebuah sinyalemen kuat bahwa sejak ratusan tahun yang lalu hubungan kekerabatan dan ikatan emosional antara keraton Jogja dengan para raja dan pejuang-pejuang se-Nusantara terbina sangat erat dan mesrah. Tidak heran, paham nasionalisme dan pancasilais pun kerap tumbuh dan berkembang di kota gudeg ini.
Nah.... Menjawab pertanyaan diatas, marilah sejenak merefresh masa lalu yang kelam kemudian disandingkan dengan stigma premanisme terkait peristiwa Jogja. Bagaimanapun juga tindakan-tindakan premanisme tidak dapat dibenarkan secara hukum. Hemat penulis, tindakan-tindakan kekerasan yang ditimbulkan oleh masyarakat NTT kini bahkan yang kerap distereotipkan dengan label premanisme tidak terlepas dari sejarah masa lalu, yang tanpa disadari menjadi kaca benggala bagi generasi sekarang.
Karena itu, perluh ada tahapan-tahapan proses regenerasi menyeluruh yang wajib digagas oleh kaum muda maupun tokoh-tokoh, bekerja sama dengan institusi pemerintahan daerah NTT untuk melakukan pembinaan moral, membangun mental dan karakter yang baik dan berbobot bagi generasi-generasi di daerah maupun di peratauan, sebab akar budaya kekerasan itu sangat erat berkoherensi dengan mental dan karakter. Agar kelak tidak terjadi degradasi moral yang menjadi bayang-bayang kelam (anomali) menuju jurang kehancuran terutama bagi generasi mendatang supaya mereka tidak kehilangan identitas dan jati diri seperti yang di ungkap oleh Sri Sultan diatas.
Salam Embun & Happy Easter........
Terimakasih, Semoga Bermanfaat!!
Senin, 11 Maret 2013
SEGREGASI KULTUR LIO KEDALAM ONDERAFDELING MAUMERE DAN ENDE
Foto tahun 1938: Kediaman Asisten Residen di Ende. (Sumber; Museum Trophen Belanda)
Oleh: Marlin Bato
Sumber:
-Longginus Diogo
-History Of Flores,
-Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah NTT
-Sejarah Lokal NTT dan kabupaten SIKKA
-Pemberontakan Teka,
-Pelangi Sikka,
-Tuturan Lisan,
Setelah hengkangnya Hindia Belanda di tanah Flores, banyak sejarah
samar yang hampir terlupakan oleh masyarakat Flores sendiri tentang
bagaimana sejarah terbentuknya wilayah administratif kabupaten Sikka dan
kabupaten Ende. Oleh karena itu, mengacu dari berbagai sumber maka
penulis mencoba merangkum sebuah artikel yang segar dan layak dibaca
agar kemudian dapat menjadi pengetahuan sejarah yang dapat diwarisi dari
generasi ke generasi.
Sebagai pencerahan mukadima, penulis
mengawali cuplikan singkat mengenai dasar historis keberadaan Hindia
Belanda di tanah Flores. 1613 adalah tahun yang signifikan dalam sejarah
Indonesia Timur. Sebuah armada Belanda di bawah komando Apollonius
Scotte (atau Scot) berlayar melalui pulau-pulau. Sebelum tiba di Kupang,
Scotte pergi ke Solor dan menyerang benteng di sana dan mengambilnya
dari Portugis. Orang-orang Portugis, atau lebih tepatnya, disebut dengan
'Portugis Hitam' melarikan diri ke Larantuka, yang, sejak saat itu,
menjadi pusat pendudukan dari Portugis hitam. Belanda pun menyerang
Larantuka, tapi gagal untuk mengambil alih wilayah Larantuka.
Adrian van der Velden, wakil komandan Scotte, pergi ke Ende, dan
menemukan kehancuran benteng Rendo Rate Rua karena telah dibakar oleh
para Bajak Laut yang disinyalir kiriman dari Jawa. Kehadiran Belanda
kala itu sangat mengganggu Portugis yang sudah menguasai wilayah Solor
sejak tahun 1562, sehingga terjadi pertempuran - pertempuran sengit
antara kedua negara penjajah ini. Pertempuran demi pertempuran terus
terjadi, sampai akhirnya Hindia Belanda berhasil menancapkan eksistensi
dan dominasinya setelah muncul kesepakatan Lisabon tahun 1859 untuk
mengakhiri sengketa kedua negara. Dalam perjanjian ini, Portugis
menyerahkan sepenuhnya wilayah Flores, Timor dan sekitarnya dibawah
kendali Hindia Belanda, tidak termasuk Timor Timur (sekarang Timor
Leste). Untuk meneguhkan perjanjian ini, Belanda wajib membayar Upeti
kepada Portugis sebesar 80.000 Gulden.
Perlahan tapi pasti,
Kolonial Belanda kian memperlihatkan dominasinya lewat agresi-agresi
militer ke berbagai wilayah Flores dan sekitarnya, hingga akhirnya
berhasil menaklukan pemberontakan Teka Iku pada tahun 1885 di Sikka
(Maumere).
Sebelum kedatangan Portugis dan Belanda, wilayah
Flores telah berdiri kerajaan-kerajaan kecil diantaranya; Kerajaan
Adonara, Kerajaan Larantuka, Kerajaan Kangae (Sikka), Kerajaan Ende,
Kerajaan Manggarai. Kemudian Portugis mendirikan Kerajaan Nita pada
tahun 1600-an.
Di Ende, Kerajaan Ende sudah berdiri sekitar
tahun 1400-an dengan raja pertamanya adalah; Djari Jawa yang disebut
juga Raja Harun asal Jawa. Atas dukungan Kerajaan Gowa dan Bima,
eksistensi kerajaan Ende sangat kuat sehingga hubungan kerajaan Ende dan
Bima semakin mesrah sampai kepada masa kepemimpinan Raja Indra Dewa.
Wilayah ini kerap terjadi basis peperangan antara Portugis dengan laskar
kerajaan Bima dan Gowa untuk merebut pengaruh di Ende.
Meski
kerajaan Ende sudah berdiri, namun raja Ende belum mampu melakukan
ekspansi hingga ke wilayah-wilayah Lio yang masih kuat dengan sistem
kepemimpinan kolektif kolegial yang meletakkan kekuatan spiritual
pimpinan tertingginya pada mosalaki. Hingga pada tahun 1907 wilayah Lio
mulai tersentuh oleh pengaruh Belanda yang mendirikan kerajaan Tanah
Kunu Lima (LIO) pada tahun 1914 yang kemudian diresmihkan tahun 1917
dibawah pemerintahan Raja Pius Rasi Wangge-. Kendati demikian, sebagaian
besar wilayah Lio diantaranya; Mego, Mbengu, Lekeba'i, Nanga Blo, dan
sekitarnya telah diklaim secara "de facto" masuk wilayah Maumere oleh
Belanda dibawah kendali Kerajaan Kangae.
Menurut catatan
sejarah Kerajaan Kangae adalah sebuah kerajaan tradisional, yang
didirikan oleh Moa Bemu Aja, seorang keturunan Rae Raja asal dari
Banggala-Siam Umalaju (Bangladesh) sekitar tahun 900. Wilayahnya
mencakup wilayah Hook Hewer Kringa, Werang, Doreng, Waigete, Wolokoli,
Hewokloang, Ili, Wetakara, Nele, Koting dan Nita, atau disebut Nulan
Ular Tana Loran. Kerajaan Kangae mencatat 38 Raja Adat dan seorang Raja
Koloni Belanda yakni Ratu Nai Juje (1902-1925).
Wilayah
Maumere, Lio (Sikka) dan Palue masuk Kerajaan Maumere pada tahun 1902.
Asumsi ini bersumber dari beberapa referensi "buku Sejarah Lokal NTT dan
kabupaten SIKKA", dan Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah NTT,
Pemberontakan Teka, Pelangi Sikka dan lain sebagainya:
Kontrak Korte Verklaring;
Pada tahun 1735 Belanda sudah mengadakan perjanjian dengan raja-raja
kecil di Timor, Solor, dan Sumba, untuk monopoli dagang Belanda dan juga
mengakui kedaulatan Belanda. Usaha itu terus di lanjutkan secara
berkesinambungan sehingga dari tahun 1900-1927 telah terjadi 73 buah
kontrak korte verklaring, dengan raja-raja kecil, antara lain kerajaan
kangae yang di buat pada tanggal 8 desember 1902. Imbas dari kontrak
korte Verklaring dengan Raja Kangae ini tersirat adanya kaitan dengan
perubahan wilayah kerajaan, yang dibarengi dengan kesepakatan perbatasan
antara wilayah Onderafdeling yaitu Onderafdeling Maumere-Ende dan
Maumere-Flores timur yang terurai sbb :
Perbatasan Onderafdeling Maumere- Flores Timur;
Dalam kesepakatan ini terjadi perubahan wilayah yaitu wilayah Muhan
dari kerajaan Larantuka (Flores Timur) dimasukan ke dalam kerajaan
Kangae (Maumere). Sedangkan wilayah Hewa dari kerajaan Kangae (Maumere)
dimasukan ke Kerajaan Larantuka.
Perbatasan Onderafdeling Maumere-Ende
Dalam kesepakatan ini terjadi perubahan wilayah yaitu wilayah Palue,
Bu-Mbengu (Paga), Mego Wena (Lekebai) ditarik dari kerajaan Lio (Ende)
dan dimasukan ke kerajaan Sikka (Maumere). Wilayah Mego Wawo (Magepanda)
di tarik dari kerajaan Lio (Ende) dan di masukan ke dalam kerajaan Nita
(Maumere).
Perluasan Wilayah Kerajaan Sikka
Kerajaan Sikka
dan kerajaan Nita sudah menjadi wilayah Koloni Belanda sejak 11
September 1885. Ketika itu wilayah kerajaan Sikka meliputi wilayah
Sikka-Lela, Nele, dan Koting. Kerajaan Nita hanya meliputi wilayah Adat
Nita
Kesepakatan perbatasan dan korte verklaring 1902 memperluas
wilayah Kerajaan Sikka. Wilayah Doreng, Wolokoli dan Hubin ditarik dari
kerajaan Kangae dan di masukan ke kerajaan Sikka. Wilayah Bu – Mbengu,
Mego Wena, dan Palue ditarik dari Kerajaan Lio (Ende) dan masuk kerajaan
Sikka.
Adanya Peta Wilayah Maumere Pada Masa Teka
Broeder
Petrus Laan SVD pada tahun 1904 menulis sejarah Pemberontakan Teka,
dengan melampirkan PETA WILAYAH MAUMERE PADA MASA TEKA. Peta ini
memperlihatkan Wilayah Onderafdeling Ende pada Sebelah Barat.
Onderafdeling Maumere mencakup 3 wilayah kerajaan yaitu, Sikka, Nita dan
Kangae, posisinya seperti uraian tersebut di atas.
Berdasarkan
data-data sejarah tersebut di atas inilah yang dapat menjadi pegangan
bahwa Lio, Palue, dan Muhan telah masuk Onderafdeling Maumere pada tahun
1902. Lio telah menyatu dengan Maumere, berupa etnisitasnya, wilayah
kesatuan adatnya, budayanya, dan tata kemasyarakatnya, terhitung sampai
2013 berarti sudah selama 111 tahun.
Terimah Kasih. Semoga bermanfaat!!
Langganan:
Postingan (Atom)