SELAMAT DATANG

SELAMAT BERSELANCAR DI BLOG FORGEMA

Radio Suara-forGEMA

Klik Play Untuk Mendengar Radio Ende -->

Senin, 10 Desember 2012

"RIA RAGO PAHLAWAN DARI LEMBAH NDONA"

Sinopsis Film:

Foto ini adalah Foto asli Ria Rago yang di ambil oleh Pater. P. Beltjens, SVD tahun 1930, sumber museum Trophen Belanda

Oleh: Marlin Bato
Jakarta, 09 Desember 2012

Produksi "Soverdi" Ende tahun 1930


Judul asli film ini dari bahasa Belanda yaitu "Ria Rago De Heldin Dan Het Ndona-Dal". Ria Rago adalah sebuah film drama dokumenter yang di produksi tahun 1930 di Ndona Ende Flores NTT. Film ini disutradarai oleh P. Simon Buis, SVD bekerja sama dengan P. P Beltjens, SVD misionaris Belanda yang kala itu bertugas di lingkup pastoral Ndona Ende. Secara historis film ini mengisahkan romantisme dan kecintaan seorang pria tua yang kaya raya kepada seorang gadis desa nan rupawan. Meski digarap oleh P. Simon Buis dan P. P Beltjens SVD, film ini tetap melibatkan aktris dan aktor dari masyarakat lokal Ende Lio serta pemeran pendukung dari susteran Ndona.

Nama-nama tokoh dalam film ini terdiri atas:

1. Ria Rago - Pemeran utama wanita pemberani yang menjadi korban perjodohan
2. Rago Da`Oe - Ayah kandung Ria sang penganut feodalisme yang serakah
3. Enga Padi - Ibunda Ria yang terjerumus dalam pemikiran sempit suaminya
4. Dapo Doki - Lelaki yang menggebuh-gebuh ingin mempersunting Ria
5. Haji Dasa - Sang negosiator (juru bicara/comblang)
6. Martinus Koenoe - Katekis/misionaris
7. LE Dr. J.M Kanoo - Dokter

Film ini diangkat dari kisah nyata, sebagaimana yang terjadi di sekitar masyarakat lokal dalam kurun waktu tahun 1923. Alkisah film ini bermula dari kedatangan Haji Dasa sang negosiator (juru bicara) kepada Rago Da`Oe untuk menyampaikan pesan dari dari Dapo Doki yang ingin meminang Ria sebagai istri sebagaimana kebiasaan-kebiasaan menurut tradisi masyarakat lokal. Singkat cerita, setelah mendapat restu dari Rago Da'Oe, Dapo Doki pun langsung menyerahkan puluhan ekor hewan sebagai mahar/belis untuk kedua orang tua Ria. Petaka pun mulai menghampiri Ria, sang gadis nan cantik jelita dari lembah Ndona.

Klimaks dari kisah ini, Rago Da'Oe ayahanda Ria pun mengatur pernikahan puterinya dengan Dapo Doki, seorang Muslim. Namun dengan tegas ia menolak pinangan Dapo juragan kaya dari kampung tetangga. Sejak saat itu, penyiksaan terhadap dirinya datang silih berganti, baik dari kedua orang tuanya maupun dari orang-orang suruhan Dapo. Pemukulan demi pemukulan pun datang bertubi-tubi, hingga akhirnya ia melarikan diri mencari suaka ke susteran misi yang menawarkan tempat aman baginya. Akan tetapi ayah dan kroni-kroninya berhasil menemukannya. Bagaimanapun, ia harus dibawa kembali ke desa karena ayahnya terlanjur menerima mahar yang cukup besar dari Dapo.

Setelah berbulan-bulan mengalami penyiksaan, Ria tetap tidak menyerah. Lagi-lagi ia dapat meloloskan diri dari penyiksaan tragis dan kembali ke bangsal susteran misi. Namun, ketika ia baru menjejakkan kakinya di teras bangsal, tiba-tiba saja dia ambruk. Tubuhnya rapuh lagi sekarat, wajahnya yang dulu putih cantik, ceria dengan rambut yang panjang terurai dalam sekejap suram dan redup, tak tampak aura kebeningan melintas dimatanya, ia tak sanggup lagi menahan beban penyiksaan. Nyawanya tak dapat tertolong. Kontan saja para suster mengutus orang untuk menjemput kedua orang tua beserta sanak saudaranya untuk menyaksikan betapa sadisnya perbuatan mereka terhadap puterinya. Namun meski di ambang kematian, pahlawan dari lembah Ndona ini meminta para suster dan kedua orang tuanya untuk melakukan upacara terakhir yaitu "menerima sakramen minyak suci". Seketika ayah Ria memutuskan untuk membatalkan pernikahan dan mengembalikan mahar kepada Dapo, namun semua sudah terlambat, penyesalan pun tak berarti lagi. Di akhir kisah, meski di ranjang kematiannya Ria pun mengampuni kedua orang tuanya.

Kisah ini, mengingatkan kita pada legenda Siti Nurbaya dan Datuk Maringgi dari pulau Sumatera. Secara substantif, ada kemiripan dari kisah ini meski ada perbedaan locus serta nama dan ketokohan. Karena itu, perjuangan Ria Rago, Siti Nurbaya dapat pula disandingkan dengan Cut Nyak Dien dari Aceh, RA. Kartini dari Jawa, Martha Christina Tiahahu dari Ambon dan lain sebagainya tentu saja ini suatu perjuangan yang sangat berarti bagi persamaan jender serta persamaan hak dengan kaum pria yang cenderung mendominasi di seluruh lini kehidupan. Sehingga lewat kisah-kisah seperti inilah tiap-tiap insan dapat memahami makna "Emansipasi Wanita".

Terimakasih, semoga bermanfaat. Salam Embun!!

Tidak ada komentar: