SELAMAT DATANG

SELAMAT BERSELANCAR DI BLOG FORGEMA

Radio Suara-forGEMA

Klik Play Untuk Mendengar Radio Ende -->

Minggu, 23 Desember 2012

SINDROM KEMOSALAKIAN



Oleh: Marlin Bato,


Jakarta, 24 Desember 2012-
Akhir-akhir ini hampir sebagian wilayah Ende Lio Flores NTT kerap terjadi konflik komunal diantara petinggi-petinggi adat setempat. Konflik tersebut timbul oleh karena berbagai faktor, misalnya; Kasus tapal batas, Kasus pengklaiman kemosalakian, kasus hak kesulungan, hak alih waris dan sebagainya. Kasus yang paling menonjol akhir-akhir ini adalah kasus pengklaiman hak kemosalakian dan hak kesulungan. Potret-potret semacam ini terjadi persis seperti politik; "Devide Et Impera" yang dilancarkan Belanda era penjajahan. Rupanya politik "Devide et Impera" masih sangat relevan diterapkan di era globalisasi ini.

Sejarah masyarakat Ende Lio pada umumnya, pernah mengalami masa transisi paling fundamental dimana tahun 1900-an masuknya Hindia Belanda ke wilayah Ende Lio turut berperan secara tidak langsung mengubah tata dan sistem adat menjadi sistem pemerintahan monarki heredetis. Kendati demikian, ekses dari sistem pemerintahan monarki heredetis tentu mempunyai sisi positif yang menjadi polarisasi faktual menuju keutuhan sebuah kebudayaan. Akan tetapi, tanpa disadari, Belanda telah memainkan genderang hegemoninya melalui "Devide Et Impera" untuk mengumpulkan upeti, sehingga muncul pula konflik-konflik horisontal pada masa itu seperti halnya; terjadinya segregasi kekerabatan kultur Ende Lio melalui Perang Baranuri dan Perang Marilonga. Rupanya, setelah hengkangnya Belanda dari bumi Ende Lio pergumulan - pergumulan "Devide Et Impera" terus berlangsung hingga kini.

Ekses yang paling menonjol berkaitan dengan politik Devide Et Impera adalah munculnya kasus tapal batas dan kasus pengklaiman hak kemosalakian sebab beberapa individu (golongan) yang pernah dibesarkan oleh Belanda merasa diri paling berpengaruh sehingga mereka ingin tetap menetapkan pilar eksistensi bersifat egocentris diwilayahnya. Wajar saja, struktur fungsionaris kemosalakian yang sudah tertanam berabad-abad silam pun turut terkoyak oleh ulah mereka. Sebuah pepata Lio mengatakan; "Ana Nia Welu Longgo-Ana Longgo Welu Nia (Anak belakang ditaruh depan, sedangkan anak depan ditaruh belakang". Tak pelak, seseorang yang tadinya berada di posisi belakang merasa diri sebagai mosalaki, sementara anak yang tadinya mosalaki pun merasa di sisikan sehingga timbul pula kontradiksi diantara kedua kubu, seperti contoh kasus di kampung Ndu'a Ria beberapa waktu yang lalu.

Di sisi lain, munculnya sindrom kemosalakian bukan semata-mata disebabkan oleh karena kasus diatas, tapi karena ada kesempatan. Kesempatan dimana hilangnnya legitimasi seorang mosalaki yang dipetuankan oleh kerabatnya (klen) sendiri. Mereka lupa meletakkan jiwa kepemimpinan mereka yang sejatinya adalah sebagai pengayom dan pelindung. Munculnya figur-figur muda paternalisme (mosalaki) pengganti generasi terdahulu pun menjadi faktor utama lemahnya eksistensi mereka. Mereka kurang memahami sejarah tuturan lisan dan riwayat kemosalakian yang dimiliki, lantaran kemunculan mereka pun bersifat karbitan. Sehingga, keberadaan mereka sebagai pemimpin adat pun rancuh, bahkan kurang mendapat tempat dihati kerabatnya sendiri.

Sesunguhnya hakikat seorang mosalaki adalah; personifikasi serta manifestasi antara wujud tertinggi dengan alam/Du'a Lulu Wula - Ngga'e Wena Tana, sebab ia merupakan reinkarnasi roh para leluhur sebagai wujud nyata penyambung kemaslahatan hidup orang banyak. Oleh Karena itu, seorang mosalaki harus bisa menyatukan diri bersama kedua unsur tersebut seperti ungkapan; "Mosa Eo Ka Fara No'o Tana - Laki Eo Pesa Bela No'o Watu". Tugas dan tanggung jawab mosalaki adalah memberi penghidupan dan keselamatan bagi orang banyak melalui doa-doa perkawinan kosmic bumi dan langit yang dipanjatkan kepada wujud tertinggi agar memberikan kesuburan, hujan yang cukup. Hal inilah yang kurang dimengerti oleh kebanyakan mosalaki.

Kurangnya pemahaman mosalaki terhadap tradisi dan budaya juga merupakan nokta hitam penyebab kacaunya ritus-rius adat, dimana kebiasaan-kebiasaan masa lampau direduksi lalu lekang dibawah kaki sang waktu, sehingga alam seakan murkah dengan segala bentuk perbuatan manusia. Tidak heran, sindrom kemosalakian bermunculan dimana-mana oleh kekuatan materi, karena sang mosalaki sendiri pun tak sanggup menjamin penghidupan orang banyak. Satu-satunya jalan yang paling sempurna untuk mengatasi ini semua adalah menggalang kekuatan penyeimbang, meretas lintas batas dalam satu paguyuban untuk mengembalikan legitimasi serta bargaining position sang mosalaki itu sendiri.

Tidak ada komentar: